Menyambut Kerapuhan Bersama Allah yang telah Merengkuhnya
(Yohanes 1:14)
Natal adalah kisah
Allah yang
menjadi manusia, Sang Firman yang menjadi
daging. Seorang penyair Inggris dalam kekagumannya bertanya, “Bagaimana mungkin Allah Yang Mahakuasa memenjarakan diri dalam daging manusia?” Itulah misteri Natal. Allah
yang telah merengkuh kerapuhan daging manusia.
Firman itu telah menjadi daging, dan berkemah di antara kita. Demikian kurang lebih terjemahan Yohanes 1:14
yang lebih literal.
Daging manusia bukan saja penuh keterbatasan sebagai ciptaan, tetapi juga
telah jatuh dalam dosa dan kejahatan. Daging
tidak hanya rentan dalam kejatuhan dosa, tetapi juga rapuh oleh penyakit. Namun, Firman yang bersama-sama Allah dan yang adalah Allah itu (Yoh. 1:1) justru rela merengkuh daging
yang lemah, rapuh, dan rentan terhadap dosa, kejahatan, penyakit, dan
penderitaan. Sentralitas iman
Kristen terletak pada Firman yang menjadi daging dan
berkemah di tengah kerapuhan manusia.
Pandemi Covid-19
selama hampir dua tahun ini makin membawa kita
pada kesadaran akan kerapuhan daging. Manusia benar-benar hidup dalam daging atau
tubuh rentan terhadap kematian. Namun
iman kepada Kristus yang adalah Allah yang merengkuh kerentanan daging, harus
memerdekakan kita untuk berani merengkuh kerapuhan sesama kita. Merengkuh
kerapuhan adalah sikap seorang murid Kristus yang siap melayani
kerapuhan-kerapuhan hidup sesamanya. Kerapuhan itu bisa berupa penyakit ataupun
beban psikologis/batin. Sebagaimana inkarnasi Kristus, pelayanan kehadiran kita
di tengah kehidupan sesama yang dalam kerapuhan hidup adalah sebuah praktik
meneladani Dia, Guru Agung kita.
Menjadi sangat
relevan dengan situasi pandemi, jika kita menyambut dan mempersiapkan
peringatan kehadiran Kristus ke dalam dunia dengan pemaknaan merengkuh
kerapuhan. Allah telah merengkuh kerapuhan hidup dalam daging. Kita dipanggil
untuk hadir dalam kehidupan sesama kita yang dalam kerapuhan. Di saat sesama
kita lemah, rapuh, berbeban berat, dan butuh pertolongan, kita dipanggil untuk
hadir secara ragawi untuk mendengar, menopang bebannya, serta memberikan
bantuan jika diperlukan. Sebagaimana Henri Nouwen menuliskan, kita adalah wounded
healers: para penyembuh yang juga terluka. Kita adalah murid-Nya yang
merengkuh kerapuhan dalam kerapuhan hidup kita sendiri.
(YDeswanto)
Comments